Madilog dari Jalan Damai – Opini Liputan6.com
Adalah Ibu Suryani Zaini, yang mengajak para peserta ke alam pikiran Madilog dalam hajatan di ruangan sederhana itu. Bahwa pendidikan, katanya, adalah tempat untuk memuliakan manusia. Lalu beliau mencuplik pikiran Tan Malaka, bahwa “Pendidikan bertujuan untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan.” Sebuah rumusan yang ringkas, tajam, menukik pulang ke dalam perjalanan sejarah, tapi juga punya kesanggupan melompat jauh ke masa depan.
Saya cukup terkejut, sebab hari-hari ini sungguh jarang kita mendengar pikiran dari masa lampau, apalagi pikiran Tan Malaka dalam berbagai forum, ditarik pula ke zaman kini, zaman di mana sekian rupa pekerjaan manusia sudah tergantikan oleh teknologi artificial intelligent (AI), dan pikiran dari masa lalu itu justru datang dari seorang praktisi, bukan wejangan dari akademisi, atau seorang mahaguru dengan gelar yang berbaris. Tapi mari melihat relevansi jalan pikiran itu, dalam dunia yang terus bergerak, ketika masa depan negeri ini kita tumpukan kepada penerus dari generasi seperti gadis di pojok kiri ruangan hajatan itu.
Ibu Yani menggali serta menuangkan relevansi petuah Madilog bagi para peserta di dalam ruangan itu. Mempertajam kecerdasan, kata beliau, sudahlah pasti menjadi tugas kita, oleh karena kehidupan haruslah senantiasa dituntun terang ilmu pengetahuan. Tapi pengetahuan saja mungkin tidak cukup. Dalam dunia yang penuh persaingan, dunia yang memburu, serta generasi baru yang rawan rebahan, kita haruslah merawat serta sekuat keyakinan mendorong anak-anak agar persisten bergerak menuju tujuan.
Ketika memulai tulisan ini, saya mencoba menjelajahi kamus, juga literatur lain, demi mencari pemahaman yang mendekati konteks pidato itu, dari apa yang dilukiskan sebagai “persisten” itu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata itu diberi makna “terus-menerus,” kemampuan individu bertindak gigih, kukuh dalam menghadapi kesulitan sekaligus mengatasi, bahkan mungkin keadaan yang membawa kita kepada keputusasaan. Mendidik generasi baru agar melihat rintangan sebagai tantangan, serta kegigihan individu itu adalah cara melewati. Persisten adalah berkanjang. Tekun yang tiada jemu.
Dalam dunia yang serba menuntut dan persisten itu, manusia seringkali terjebak pada hasil belaka. Result oriented. Senggol sana-sini dalam perjalanan. Akhlak seringkali menjadi barang yang mahal. Oleh karena itu tugas kita, kata Ibu Yani, adalah juga menanam nilai. Dari budaya warisan leluhur kita sendiri. Agar akhlak mulia terjaga. Makin tinggi. Dan tugas seperti ini, lanjutnya, memang sungguhlah tidak mudah di tengah zaman ini, masa di mana idealisme menjadi barang yang mahal dan mewah.
Sejenak saya menoleh. Melirik para peserta di ruangan itu. Seisi ruangan seperti tekun menyimak wejangan dari podium itu. Bentangan serta uraian tentang jalan pikiran Tan Malaka ini, rasanya seperti lecutan, bagi para praktisi, juga kalangan akademisi yang hadir di hajatan ini.
Ruangan itu memang dipenuhi para pendidik. Mereka adalah pimpinan dari Akademi Televisi Indonesia (ATVI), milik Yayasan Elang Mahkota Teknologi, yang lebih kita kenal dengan nama singkatannya: EMTEK. Akademi ini sedang dalam perjalanan bertransformasi menjadi Institut Media Digital Emtek (IMDE). Ibu Yani- begitu panggilan sehari-harinya – adalah Ketua Yayasan Indosiar, yang menaungi akademi itu. Kampus ini berlokasi di Jalan Damai, Daan Mogot, Jakarta Barat.
Berdiri semenjak 1998, akademi ini tumbuh dalam lingkungan yang tidak saja memahami laju perubahan kebutuhan manusia, tapi juga memaksimalkan kekuatan teknologi demi melayani kebutuhan itu. Lahir 1983, EMTEK memulai dari layanan komputer pribadi, dan hari ini berbiak menjadi perusahaan modern, terintegrasi, dengan usaha utama: media dan digital, kesehatan, layanan keuangan, serta teknologi dan infrastuktur digital.