OPINI: Saling Serang Israel-Iran Saat Ini Hanya “Appetizer”, “Main Course” Menunggu Hasil Pilpres AS 2024
Hal paling realistis bagi Israel untuk melakukan aksi militer yang lebih besar terhadap Iran, yakni menghancurkan instalasi pengembangan senjata nuklir Iran—seperti yang dilakukan Israel ketika mengebom reaktor nuklir Irak pada 1981 dan reaktor nuklir Suriah pada 2007 yang dicurigai digunakan untuk mengembangkan senjata nuklir—adalah menunggu perubahan rezim di AS.
Seperti diketahui, pada 5 November 2024 AS akan menggelar pilpres yang akan mempertarungkan Joe Biden sebagai capres petahana dari Partai Demokrat dengan Donald Trump, penantangnya dari Partai Republik. Meski sama-sama mengklaim Israel adalah BFF (best friend forever) AS dan menggelontorkan miliaran dolar bantuan setiap tahun, Biden dan Trump memiliki pendekatan yang berbeda terhadap konflik Israel-Iran.
Sebagai mantan wakil presiden Barack Obama selama dua periode, Biden ingin melanjutkan kesepakatan nuklir Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang diprakarasi AS dan negara besar lain pada 2015 sebagai bentuk upaya mencegah Iran membangun kemampuan senjata nuklir, dengan kompensasi berupa pengurangan sanksi. Biden juga enggan terlibat dalam aksi militer Israel di Timur Tengah termasuk perseteruan dengan Iran dan akhir-akhir ini mengecam aksi militer yang berlebihan di Gaza.
Sebaliknya Trump yang kerap sesumbar “No President has done more for Israel than I have,” terkesan selalu mengikuti kemauan Israel.
Pada 2018, Trump memerintahkan AS menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, karena Israel sangat menentang kebijakan ini. Pada awal 2020, Trump memerintahkan serangan drone AS yang menewaskan Jend. Qassem Soleimani, Kepala Pasukan Elit Quds Iran. Tindakan pro-Israel Trump yang paling dramatis adalah normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab yang mencakup Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan dan Maroko melalui kesepakatan The Abraham Accords. Menurut Lembaga think thank George C. Marshall European Center for Security Studies, The Abraham Accords secara geopolitik “memperkuat aliansi informal anti-Iran, meningkatkan tekanan terhadap Teheran dan mempererat ikatan AS dengan sekutu-sekutu pentingnya di Timur Tengah.”
Poling publik di Israel memang menunjukkan harapan besar warga Israel agar Trump kembali terpilih menjadi presiden. Dilansir oleh The Times of Israel pada 12 Maret lalu, poling yang dipublikasikan stasiun TV Israel, Channel 12, sebanyak 44% warga Israel menginginkan Trump kembali menjadi presiden dan hanya 30% yang mengharapkan Biden terpilih kembali. Untuk responden dari pendukung partai koalisi pemerintahan Netanyahu, dukungan terhadap kembalinya Trump ke Gedung Putih mencapai 72% dan hanya 8% yang menghendaki Biden terpilih lagi.
Harapan Netanyahu dan mayoritas warga Israel akan berkuasanya kembali Trump mungkin bisa menjadi kenyataan. Menurut poling rata-rata RealClearPolitics, jika pilpres AS digelar hari ini, Trump akan unggul terhadap Biden sebesar +0,4% secara nasional dan antara +1% hingga +4.5% di enam swing states terpenting. Berdasarkan agregat poling RealClearPolitics, Trump akan menang dengan 293 suara elektoral vs Biden 245 suara elektoral.
Jadi, dengan adanya keterkaitan antara konflik Israel-Iran dan dinamika politik dalam negeri AS, konfrontasi militer terbuka Iran-Israel sepertinya tidak akan berakhir dengan aksi saling serang rudal dan drone yang saat ini terjadi.
Hasil pilpres AS pada 5 November nanti akan menjadi penentu apakah konflik militer antara dua kekuatan besar di Timur Tengah ini akan mereda atau akan semakin membara.