3 mins read

OPINI: Kemenangan Donald Trump Jadi Musim Dingin Politik Bagi Partai Demokrat



Kolom Jakarta – Donald Trump tengah bersiap kembali ke Gedung Putih untuk kedua kalinya. Hasil perhitungan suara menunjukkan, Trump menang dengan perolehan 312 suara elektoral vs Kamala Harris 226 suara electoral. Trump menyapu bersih ketujuh swing states yang diperebutkan yakni Wisconsin, Michigan, Pennsylvania, North Carolina, Georgia, Arizona, dan Nevada, yang enam di antaranya dimenangkan Joe Biden pada 2020.

Kemenangan telak Trump di Pilpres 2024 cukup mengejutkan, tapi sudah dalam skenario para analis. Menurut Harry Enten, Senior Data Journalist CNN, pada 24 Oktober, dengan marjin keunggulan kedua capres di tujuh swing states rata-rata di bawah 2%, maka kedua calon sama-sama berpeluang untuk menang. Ini karena margin of error rata-rata poling di swing states mencapai 4,3% sejak 1972.

Selain itu, menurut 60% aggregate of forecast models, salah satu capres akan memenangkan semua swing states yang diperebutkan: Harris bisa menang dengan maraih 319 suara elektoral vs Trump 219 atau Trump meriah 312 suara electoral vs Harris 226 suara electoral, tergantung pada apakah polling error akan menguntungkan Trump atau Harris.

Sejumlah pihak di kubu Partai Demokrat menyalahkan Biden atas kekalahan Kamala Harris: Mengapa baru mundur tiga bulan sebelum pilpres? Mengapa harus mengeluarkan pernyataan seperti, “pengikut Trump adalah sampah”?

Lainnya menyalahkan tim Harris karena gagal memobilisasi dukungan koalisi pemilih yang mengantarkan Biden ke Gedung Putih pada 2020 atau aksi lapangan yang dianggap tidak tepat sasaran. Semua faktor tersebut mungkin berkontribusi terhadap kekalahan Harris, tapi akar penyebab kekalahan Harris berasal dari aspek-aspek politik yang lebih mendasar.

Pendulum Dominasi Politik AS Tengah Berayun ke Kanan

Peribahasa yang mengatakan “hidup seperti roda pedati, kadang di atas, kadang di bawah,” tampaknya berlaku dalam politik AS. Sejak menjadi partai dominan pada pilpres 1856, Partai Republik dan Partai Demokrat berkuasa saling bergantian. Adakalanya salah satu partai berkuasa dalam periode yang sangat lama.

Partai Republik pernah memenangkan kursi kepresidenan empat periode berturut-turut: 1896, 1900, 1904 dan 1908. Partai Republik juga pernah menguasai Gedung Putih tiga periode dengan menang di pilpres 1920, 1924 dan 1928; dan pilpres 1980, 1984 dan 1988, di era Ronald Reagan dan George H.W. Bush. Partai Demokrat bahkan pernah memenangkan pilpres lima kali berturut-turut yakni pilpres 1932, 1936, 1940, 1944 dan 1948 di era presiden Franklin D. Roosevelt dan Harry Truman.

Faktor pemicunya bermacam-macam. Wall Street Crash dan Great Depression pada 1929 dan popularitas Roosevelt selama Perang Dunia II membuat Partai Demokrat berkuasa hingga lima periode. Sementara perang dingin dan realiasi south states membuat Reagan-Bush berkuasa tiga periode. Kenaikan pajak, inflasi dan pengangguran di akhir periode pertama Bush membuat kelas pekerja hijrah dari Partai Republik ke Partai Demokrat, sehingga Bush kalah oleh Bill Clinton di pilpres 1992. Kegagalan presiden Barack Obama dalam merealisasikan janji-janjinya di bidang perekonomian serta sentimen rasial membuat kelas pekerja kembali berpidah ke Partai Republik.

Pergeseran politik AS ke kanan terlihat jalas dalam exit poll The New York Times di pilpres 8 November lalu, 38 dari 50 negara bagian AS bergeser ke Partai Republik dibanding 2020. Seluruh swing states saat ini lebih merah dibanding empat tahun lalu, dari Nevada (R +1,1 poin) hingga Michigan (R +4,2 poin).

Pergeseran ke Partai Republik terjadi di semua wilayah: kota besar (R +5,8 poin), kota kecil (R +4,4 poin) dan pedesaan (R +3,9 poin). Juga di daerah-daerah yang didominasi entnis minoritas: mayoritas Hispanik (R +13,3 poin), mayoritas penduduk asli Amerika (R +10,0 poin) dan mayoritas kulit hitam (R +2,7 poin).