Punya Segudang Manfaat, Labu Halloween Bisa Jadi Superfood di Masa Depan?
Intenasional Jakarta – Biasanya, labu oranye ini hanya terkenal dan muncul saat Halloween Day. Tetapi tanaman yang tahan kekeringan, stabil, dan serbaguna ini ternyata kaya akan nutrisi. Apakah bisa menjadi superfood atau makanan super di masa depan?
Labu sering dikaitkan dengan Halloween; ditempatkan di depan pintu dan mengintip melalui jendela depan, dagingnya diukir menjadi senyuman mengerikan, mata bercahaya oleh nyala api.
Namun, nilainya jauh melampaui aksesori Halloween yang dikenal. Mereka tetap ada hingga Thanksgiving, dan kemudian berkurang dari rak-rak toko, untuk memberi jalan bagi hidangan Natal.
Melansir dari BBC, Sabtu (2/11/2024), di Barat labu mungkin menjadi bahan utama dalam pai liburan tradisional, tetapi potensi sejati mereka terletak pada manfaat nutrisi dan medis mereka. Kaya akan berbagai nutrisi penting dan relatif mudah untuk ditanam, tanaman tahan kekeringan ini belum mendapatkan perhatian yang layak.
Labu adalah peluang yang besar saat petani berjuang dengan kelangkaan air dan iklim yang semakin keras, komunitas lokal berjuang dengan ketidakamanan ekonomi, dan populasi dunia semakin kekurangan gizi.
Di Bangladesh, gurun mini yang dikenal sebagai gundukan pasir, terbentuk akibat banjir yang disebabkan oleh perubahan iklim selama musim hujan monsun yang berlangsung selama lima bulan. Endapan yang terbentuk mengandung unsur beracun tinggi akibat polusi sungai, dan membuat tanah menjadi tandus.
Namun, tanah yang tererosi oleh sungai dan tertutup oleh lumpur ini kini dimanfaatkan untuk menanam labu guna membantu mengatasi ketidakamanan pangan, pengangguran, dan masalah gizi.
Apa yang dimulai pada tahun 2005 sebagai proyek “Pumpkins against Poverty”, yang dibentuk oleh lembaga nirlaba Practical Action, kini telah berubah menjadi usaha yang menguntungkan yang disebut Pumpkin Plus.
“Kami bekerja dengan lebih dari 1.000 agri-entrepreneur, mengekspor labu ke Qatar, Malaysia, Singapura, dan negara-negara lain, dan membangun kapasitas komunitas lokal untuk beralih ke pertanian komersial,” kata Nazmul Islam Chowdhury, chief executive perusahaan. “Rata-rata [komunitas ini] menghasilkan sekitar £6.000 (sekitar Rp 115 juta) dalam waktu lima bulan.”