
OPINI: Aspek Legal, Dampak Ekonomi dan Realitas Politik Hadang Gebrakan Trump-Musk
Trump sukses menjadi presiden untuk kedua kalinya dengan perolehan suara elektoral 312 vs 226 dan marjin suara popular +1,48%. Kemenangan Trump terutama ditopang oleh kekhawatiran masyarakat AS mengenai kondisi perekonomian di dalam negeri. Kampanye Trump yang menjanjikan harga-harga turun dan masyarakat AS hidup makmur membuatnya sukses maraih dukungan kuat dari hampir semua segmen pemilih.
Keberhasilan Trump menduduki Gedung Putih untuk kedua kalinya diikuti oleh kesuksesan Partai Republik mempertahankan kursi mayoritas di DPR (220 vs. 215 kursi) dan meraih suara mayoritas di Senat (53 vs. 47 kursi). Artinya pada pemilu November 2024 lalu, Partai Republik sukses meraih trifekta politik, yang sangat krusial bagi realisasi seluruh agenda Trump.
Meningkatnya dukungan pemilih dari kalangan minoritas, terutama kaum Hispanik dan kalangan muda terhadap Trump dan Partai Republik pada pemilu 2024 membuat Partai Republik berpotensi untuk mendominasi politik AS dalam jangka panjang. Namun tindakan Trump mengeluarkan puluhan perintah eksekutif dalam rentang waktu singkat yang mengancam kesejahteraan konstituen dan tindakan berlebihan Musk yang telah manciptakan kekacauan di mana-mana membuat masa bulan madu kekuasaan Partai Republik bisa berusia singkat.
Poling terbaru dari CNN/SSRS dan The Washington Post/Ipsos menunjukkan bahwa sebulan setelah pelantikan, job approval Trump memasuki area negatif: masing-masing -5% (47-52) dan -8% (45-53). Dalam survei the Post, 58% responden tidak setuju dengan pemecatan besar-besaran pegawai pemerintah. Sedangkan dalam survei CNN, 62% responden termasuk 47% responden pendukung Partai Republik mengatakan Trump belum berbuat banyak untuk menurunkan harga barang-barang kebutuhan sehari-hari.
Lebih jauh, 69% responden dalam survei the Post meyakini pengenaan tarif terhadap barang-barang impor dari Kanada, Meksiko dan China akan membuat harga barang-barang di dalam negeri menjadi lebih mahal. Menurut kolumnis senior di The New York Times, Ezra Klein, Trump semula diperkirakan akan menjalankan berbagai agendanya secara bertahap, dimulai dengan program-program yang membuatnya populer seperti menurunkan harga barang-barang kebutuhan sehari-hari.
Dengan begitu pihak oposisi (Partai Demokrat) akan semakin lemah dan kebingungan. Dari sana, Trump akan secara perlahan membangun kekuatan untuk menghadapi pemilu sela atau midterm elections dan meningkatkan cengkeramannya atas pemerintah federal melalui tangan Musk. Tapi Trump yang mabuk kekuasaan ternyata tidak siap bermain cantik dengan membangun kekuasaan secara incremental.
Hal ini memberi celah kepada Partai Demokrat untuk memanfaatkan berbagai ketidakpuasan yang terjadi di masyarakat AS untuk melakukan serangan balik melalui pemilu sela pada November 2026.
Pemilu di tengah-tengah periode kepresidenan ini selalu menjadi mimpi buruk bagi setiap presiden AS yang menduduki Gedung Putih dengan menggenggam trifekta politik. Menurut analisis Senior Political Analyst CNN, Ronald Brownstein, sejak era Jimmy Carter 47 tahun lalu, lima presiden AS menduduki Gedung Putih disertai suara mayoritas di DPR dan Senat.
Tapi partai pengusung kelima presiden tersebut kemudian kehilangan suara mayoritas di DPR dalam pemilu sela dua tahun kemudian, termasuk Trump pada November 2018. Kita tahu yang terjadi selanjutnya waktu itu: Pemerintahan Trump mengalami shutdown pada 22 Desember 2018 – 25 Januari 2019 (35 hari), government shutdown terlama dalam sejarah AS, Trump dimakzulkan oleh DPR pada 18 Desember 2019, dan Trump kalah oleh Joe Biden pada pilpres November 2020.