
OPINI: Catatan atas Regulasi CCS/CCUS
Kolom Jakarta Indonesia diklaim memiliki potensi sumber daya penyimpanan karbon terbesar di Asia Tenggara, meliputi setidaknya 20 cekungan dengan kapasitas 573 giga ton saline aquifer dan 4,8 giga ton depleted oil and gas reservoir yang tersebar di berbagai wilayah di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua (KESDM, 2024).
Penerapan kegiatan penangkapan-penyimpanan karbon atau Carbon Capture Storage (CCS) dan/atau penangkapan penyimpanan dan pemanfaatan karbon atau Carbon Capture Utilization Storage (CCUS) telah cukup lama mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Sejumlah regulasi tercatat telah diterbitkan pemerintah, sebagai bagian dari upaya untuk memberikan kepastian hukum dan memfasilitasi investasi penangkapan, penyimpanan dan pemanfaatan karbon ini.
Tiga regulasi, secara lebih khusus yang terkait CCS, yang telah diterbitkan pemerintah adalah Peraturan Menteri (Permen) ESDM 02/2023 tentang CCS/CCUS pada Kegiatan Hulu Migas, Peraturan Presiden (Perpres) 14/2024 tentang Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, dan Permen ESDM 16/2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penyimpanan Karbon pada Wilayah Izin Penyimpanan Karbon.
Dari sisi substansi, beberapa aspek penting yang tertuang di dalam ketiga peraturan tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut:
Permen ESDM No 2/2023 berfungsi sebagai landasan hukum bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) hulu migas yang berencana atau tengah berada dalam fase pengembangan CCS/CCUS di wilayah kerjanya. Dalam permen ini, kegiatan CCS/CCUS dinyatakan sebagai bagian dari operasi perminyakan, sehingga biaya CCS/CCUS kemudian dapat diperlakukan sebagai bagian dari biaya operasi sesuai ketentuan yang berlaku.
Pada satu sisi hal ini positif, namun di sisi lain hal ini belum dapat dikatakan cukup progresif karena CCS/CCUS masih dipandang dan diperlakukan sebagai operasi perminyakan yang masih bersifat khusus dan memerlukan kajian sebagai salah satu syarat formal administrasinya. Di dalam prosedurnya, rencana kegiatan CCS/CCUS dapat diusulkan oleh KKKS dalam Plan of Development (POD) I maupun POD lanjutan atau revisinya.
Perpres 14/2024 memberikan landasan hukum bagi penyelenggaraan kegiatan CCS, tidak hanya terbatas untuk sektor hulu migas, tetapi juga di sektor lainnya. Namun demikian, secara tidak langsung pemerintah pada dasarnya menggariskan kebijakan bahwa sektor hulu migas merupakan sektor-instrumen utama di dalam penyelenggaraan CCS ini.
Terbitnya Perpres No 14/2024 secara umum lebih memberikan gambaran terhadap arah makro kebijakan penyelenggaraan CCS di Indonesia. Dalam hal keekonomian, di dalam Perpres 14/2024 pemerintah tercatat juga mengatur dan membuka peluang bagi badan usaha untuk memperoleh manfaat ekonomi dari kegiatan CCS.
Dalam kaitan dengan penyelenggaraan CCS di sektor hulu migas, Perpres No 14/2024 tercatat tidak mengubah prinsip – prinsip yang sebelumnya diatur di dalam Permen No 2/2023 seperti penetapan kegiatan CCS sebagai bagian dari operasi perminyakan dan biaya penyelenggaraan CCS yang dapat diperlakukan sebagai biaya operasi sesuai ketentuan yang berlaku.
Yang terkini, Permen ESDM 16/2024, memberikan landasan hukum bagi penyelenggaraan kegiatan CCS pada Wilayah izin Penyimpanan Karbon. Ruang lingkup pengaturan Permen ESDM 16/2024 ini diantaranya meliputi lelang dan seleksi terbatas Wilayah Izin Penyimpanan Karbon.
Izin eksplorasi zona target injeksi karbon di lingkup sektor ESDM, izin operasi penyimpanan karbon (storage fee, royalty, agreement) di lingkup sektor ESDM. Turut diatur dalam permen ini adalah hal terkait rencana kerja, anggaran,rencana pengembangan dan operasional dari pelaksanaan CCS pada wilayah izin penympanan karbon di lingkup sektor ESDM.
Secara umum, kerangka regulasi yang ada pada dasarnya telah mencakup beberapa aspek penting yang memang diperlukan dalam penyelenggaraan kegiatan CCS. Termasuk di dalam hal ini adalah aspek mekanisme penyelenggaraan, tata kelola perizinan dan lisensi untuk proyek CCS, ketentuan mengenai biaya penyimpanan, pengaturan terkait pemantauan, pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV), hingga ketentuan mengenai prosedur penutupan kegiatan CCS.
Kerangka regulasi yang ada, namun demikian, secara garis besar masih lebih banyak difokuskan pada penyelenggaraan CCS di sektor ESDM dan khususnya di hulu migas. Dapat dikatakan bahwa aspek-aspek teknis terkait CCS yang berada dalam lingkup KESDM pada dasarnya telah memiliki kerangka pengaturan yang cukup jelas.
Di tingkat operasional, SKK Migas juga telah menerbitkan Pedoman Tata Kerja No. PTK-070/SKKIA PTK-070/SKKIA0000/2024/S9 tentang pelaksanaan kegiatan CCS/CCUS di wilayah kerja KKS, dengan ruang lingkup pengaturan yang sudah mencakup tahap perencanaan seperti studi potensi penyimpanan dan sumber, pengumpulan data tambahan untuk saline aquifer dan depleted reservoir, pengaturan aspek keselamatan kerja, hingga pada aspek monetisasi, akuntansi dan biaya penyelenggaran kegiatan CCS/CCUS.
Pengaturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan CCS secara lebih luas, yang dalam hal ini akan berkaitan dengan sektor/kementerian lain, namun demikian, tercatat masih terbatas. Berdasarkan identifikasi, kebutuhan terhadap pengaturan yang lebih rinci tentang pelaksanaan CCS/CCUS nantinya akan banyak melibatkan kewenangan lintas sektor di luar KESDM.
Merujuk Perpres Nomor 14 Tahun 2024, pelaksanaan kegiatan CCS secara teknis setidaknya memang akan berkaitan dengan ruang lingkup tugas dan kewenangan sejumlah kementerian lainnya. Kementerian Investasi/BKPM, misalnya, memiliki peran penting dalam penerbitan izin eksplorasi dan izin operasi penyimpanan (Pasal 9), serta terlibat dalam proses perizinan berusaha (Pasal 70).
Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, masing-masing memiliki kewenangan koordinasi dengan Menteri ESDM terkait penawaran Wilayah Izin Penyimpanan Karbon (Pasal 11), koordinasi pelaksanaan CCS di Wilayah Kerja Migas (Pasal 5), serta dalam penerbitan Izin Transportasi Karbon (Pasal 30). Kementerian Keuangan juga memiliki peran penting khususnya dalam penyediaan insentif fiskal yang dapat mendukung keberlanjutan pelaksanaan kegiatan CCS secara nasional.
Dengan demikian, meskipun di satu sisi kerangka regulasi CCS/CCUS yang ada telah banyak meletakkan fondasi pengaturan makro yang cukup positif, berbagai aspek mulai dari administrasi, teknis operasional, hingga keekonomian, tercatat masih membutuhkan peraturan pelaksana-tambahan yang kewenangannya tersebar di berbagai kementerian dan lembaga terkait.
Secara ringkas, beberapa hal substantif yang memerlukan peraturan pelaksana-tambahan dan bersifat lintas sektor tersebut diantaranya meliputi:
1. Pemberian insentif fiskal dan non-fiskal dari pemerintah untuk meningkatkan keekonomian
2. Administrasi-birokrasi perizinan lintas sektor
3. Pengaturan yang lebih detil atas implementasi dari kebijakan bilateral agreement untuk proyek CCS/CCUS lintas batas negara
4. Aturan tentang standar teknis penyimpanan CO2
5. Aturan terkait monetisasi proyek CCS/CCUS dalam kaitan dengan penerapan perdagangan-kredit karbon.
Di luar faktor inisiatif-motif bisnis dari para pelaku usaha yang tentu saja merupakan determinan utama dari berjalan-tidaknya kegiatan CCS/CCUS di tanah air, penguatan kerangka regulasi berupa detail substansi dari sejumlah aturan pelaksana yang diperlukan tersebut dapat dikatakan akan menjadi penentu kecepatan perkembangan kegiatan-proyek CCS/CCUS di Indonesia. Menjadi tugas kita semua, dan khususnya pemerintah, untuk menuntaskan pekerjaan rumah tersebut.