OPINI: Dokter di Garis Depan Menjaga Integritas Layanan Kesehatan
8 mins read

OPINI: Dokter di Garis Depan Menjaga Integritas Layanan Kesehatan



Kolom Jakarta Pada awal 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menggelar audiensi di Gedung Merah Putih, Jakarta. Pertemuan ini menandai komitmen bersama untuk memperkuat pencegahan korupsi di sektor pelayanan kesehatan dan pengelolaan program asuransi kesehatan. Dalam kesempatan tersebut, pihak PB IDI menekankan pentingnya penyamaan persepsi tentang definisi fraud dalam layanan kesehatan, agar tidak merugikan pihak manapun dan tetap berkeadilan.

Di tengah pesatnya perkembangan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan bertumbuhnya produk asuransi kesehatan swasta, peran dokter menjadi semakin sentral: sebagai penjaga utama integritas sistem klaim, sekaligus sebagai pihak yang paling terdampak jika narasi pencegahan fraud tidak ditempatkan secara adil.

Memahami Fraud secara Proporsional

Dalam taksonomi Fraud Tree yang disusun oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), fraud dibagi menjadi tiga kategori besar: korupsi, penyalahgunaan aset, dan kecurangan laporan keuangan. Korupsi sendiri mencakup empat bentuk utama, yaitu benturan kepentingan, suap, gratifikasi tidak sah, dan pemerasan. Dalam konteks layanan kesehatan, praktik seperti phantom billing, upcoding, atau unbundling lebih tepat dikategorikan sebagai penyalahgunaan aset, bukan korupsi murni.

Semua bentuk fraud merupakan pelanggaran hukum dan harus diproses sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, pendekatan penanganannya perlu dilakukan secara proporsional, berbasis bukti yang kuat, dan memperhatikan konteks sistemik yang melatarbelakanginya.

Dokter: Pilar Kunci Pencegahan Fraud

Baik dalam sistem JKN maupun asuransi kesehatan komersial, klaim pembiayaan kesehatan sangat bergantung pada dokumentasi medis yang dibuat oleh dokter. Setiap keputusan klinis, mulai dari diagnosis hingga terapi, menjadi dasar pengajuan klaim.

Seminar nasional yang diselenggarakan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tahun 2020 menegaskan bahwa akurasi dan integritas dokumentasi medis adalah pondasi utama dalam pencegahan fraud. Penelitian di beberapa rumah sakit di Jawa Tengah juga membuktikan bahwa kualitas dokumentasi medis sangat berpengaruh terhadap validitas klaim.

Membangun sistem pembiayaan kesehatan yang berintegritas membutuhkan kontribusi semua pihak, dan dokter dengan profesionalismenya adalah salah satu pilar utamanya.

Tantangan Nyata di Lapangan

Namun, dalam kenyataannya, dokter di lapangan menghadapi tantangan besar. Di antaranya adalah tantangan terkait tekanan administratif dan target operasional di fasilitas kesehatan maupun institusi pembiayaan kesehatan, yang dapat berdampak pada praktik dokumentasi medis. Selain itu, beban administrasi yang tinggi, dinamika perubahan regulasi baik di JKN maupun di asuransi kesehatan swasta, serta minimnya pelatihan tentang coding diagnosis dan prosedur klaim juga menjadi tantangan serius.

Penelitian Kusumadewi et al. (2020) mengungkapkan bahwa tekanan sistemik ini berkontribusi terhadap ketidakakuratan dokumentasi, yang semestinya dipahami dalam konteks perlunya perbaikan sistem, bukan semata-mata kriminalisasi individu.

Strategi Penguatan Peran Dokter

Untuk memperkuat peran dokter dalam pencegahan fraud, beberapa strategi perlu diimplementasikan:

Edukasi dan pelatihan berkelanjutan, termasuk pemahaman tentang sistem klaim, coding diagnosis, pedoman pelayanan klinis (clinical pathway), standar prosedur operasional, dan prosedur administratif;

Implementasi teknologi informasi kesehatan, seperti sistem rekam medis elektronik yang terintegrasi dengan sistem klaim;

Penguatan etika profesi dan budaya integritas, melalui pelatihan etik dan internalisasi nilai profesionalisme oleh organisasi profesi;

Kolaborasi multipihak, dengan membangun sinergi antara dokter, fasilitas kesehatan, BPJS, perusahaan asuransi, organisasi profesi, regulator, dan masyarakat untuk membangun ekosistem pencegahan fraud secara kolektif.

Dalam Pedoman Pencegahan Fraud dalam JKN yang diterbitkan oleh IDI (2018), ditekankan pula pentingnya pembentukan Tim Pencegahan Fraud di fasilitas kesehatan, penguatan kapasitas tenaga kesehatan, dan pelaksanaan audit medis internal secara berkala sebagai bagian dari strategi integral.

Strategi ini menempatkan dokter bukan hanya sebagai pelaksana layanan, tetapi juga sebagai penjaga integritas sistem kesehatan.

Aspek Hukum dan Etika Profesi

Dalam upaya pencegahan fraud, aspek hukum dan etika profesi tidak dapat diabaikan. Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 telah menetapkan kewajiban fasilitas kesehatan dan tenaga medis untuk terlibat aktif dalam upaya pencegahan dan penanganan fraud. Di sisi lain, Kode Etik Kedokteran Indonesia menegaskan bahwa dokter wajib menjunjung tinggi kejujuran dan tanggung jawab profesional dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini dapat berujung pada sanksi administratif, pencabutan izin praktik, hingga tindakan etik dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran. Di sisi lain, dokter juga memiliki hak atas perlindungan hukum sepanjang tindakan medis yang dilakukan sesuai standar profesi dan ketentuan yang berlaku.

Namun demikian, pemberian sanksi administratif atau etik tidak menghapus kemungkinan dikenakannya sanksi pidana apabila dalam perbuatannya ditemukan unsur tindak pidana sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Langkah-Langkah Pencegahan Fraud untuk Dokter Praktik

Sebagai panduan praktis, berikut checklist sederhana pencegahan fraud yang dapat digunakan oleh dokter praktik:

  • Dokumentasi medis: Catat anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosis, dan rencana terapi secara lengkap dan akurat, sesuai standar pelayanan.
  • Keputusan klinis: Gunakan panduan praktik berbasis bukti dan clinical pathway untuk memastikan keputusan medis sesuai indikasi.
  • Peresepan obat: Pastikan setiap obat memiliki indikasi medis yang jelas dan patuhi formularium nasional.
  • Sistem, prosedur, dan audit: Pahami mekanisme klaim yang berlaku, memastikan prosedur klaim dilaksanakan secara sah dan transparan, dan berpartisipasi aktif dalam audit medis internal.

Checklist ini bukan sekadar langkah-langkah administratif, melainkan juga cerminan profesionalisme dan komitmen terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu.

Pembentukan sistem deteksi dini dan pengawasan internal berbasis tim di fasilitas kesehatan juga dapat menjadi langkah strategis untuk mendukung dokter menjaga integritas pelayanan, tanpa menambah beban administratif yang berlebihan.

Prospek Penguatan Dokter di Masa Depan

Seiring perkembangan teknologi dan dinamika sistem kesehatan, peran dokter dalam pencegahan fraud akan semakin strategis.

Penerapan kecerdasan buatan (AI) dalam deteksi dini fraud, perubahan model pembayaran ke value-based healthcare, serta peningkatan transparansi dalam pengelolaan klaim kesehatan akan membawa lanskap baru.

Dalam konteks ini, dokter perlu terus memperkuat kompetensi, menjaga integritas, dan membangun kolaborasi lintas sektor untuk tetap menjadi garda terdepan dalam menjaga keberlanjutan sistem kesehatan nasional yang semakin kokoh dan adaptif terhadap tantangan zaman.

Pencegahan Fraud adalah Tanggung Jawab Sistemik

Sebagaimana tercantum dalam Fraud Risk Management Guide dari COSO dan ACFE, pencegahan fraud harus dilandaskan pada penguatan tata kelola organisasi melalui prinsip governance, risk management, dan compliance (GRC).

Peraturan OJK Nomor 12 Tahun 2024 dan Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 juga menggarisbawahi bahwa setiap fasilitas kesehatan dan perusahaan asuransi wajib membangun sistem pencegahan fraud yang terstruktur dan berkelanjutan.

BPJS Kesehatan sebagai pengelola dana JKN telah mengimplementasikan berbagai program pengendalian fraud. Dalam Laporan Pengelolaan Program dan Keuangan tahun 2023, tidak ada pengungkapan jumlah kasus fraud secara spesifik kepada publik. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan pencegahan berbasis sistemik lebih dikedepankan daripada sekadar eksposur kasus [24].

Membangun Sistem, Menegakkan Integritas

Pencegahan fraud dalam layanan kesehatan adalah kebutuhan mendesak dalam membangun sistem kesehatan yang berkelanjutan. Namun, pendekatan berbasis stigma individu, khususnya terhadap profesi dokter, justru akan melemahkan upaya tersebut.

Sudah saatnya kita membangun narasi baru: dokter bukan bagian dari masalah, melainkan bagian penting dari solusi, melalui profesionalisme dan integritas yang memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem kesehatan yang berkeadilan.

Dalam membangun sistem yang sehat, dokter harus diposisikan sebagai mitra strategis dalam menjaga integritas layanan. Setiap pelanggaran dengan itikad buruk tetap harus ditindak secara adil berdasarkan hukum dan etika profesi. Namun, dalam pencegahan fraud yang berkelanjutan, kunci utamanya adalah memperbaiki tata kelola, memperkuat kapasitas profesional, membangun sistem deteksi dini internal, dan membangun budaya organisasi yang adil.

Dengan membangun sistem yang kuat dan menegakkan integritas di setiap lini, kita dapat menjaga keberlanjutan program JKN maupun asuransi kesehatan swasta. Ini bukan hanya demi efektivitas pembiayaan kesehatan, tetapi juga demi menjaga martabat profesi kedokteran dan kepercayaan publik kepada dunia medis Indonesia.

 

Penulis

Wawan Mulyawan adalah seorang dokter spesialis bedah saraf, Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Pembiayaan Jaminan Sosial dan Perasuransian Indonesia (PP PERDOKJASI), dan Ketua Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (ILUNI FKUI).

Agustian Fardianto adalah seorang dokter pelayan publik di bidang jaminan dan asuransi kesehatan, Sekretaris Umum PP PERDOKJASI, dan Director of Institutional Networking Association of Certified Fraud Examiners Indonesia Chapter (ACFE Indonesia).