
PPh 0,5% di Marketplace, Solusi Digital atau Beban Baru?
Kolom Jakarta Transformasi digital merupakan keniscayaan zaman yang kini menata ulang wajah perekonomian global, termasuk pola hubungan antara konsumen, produsen, dan negara. Dalam waktu yang relatif singkat, dunia menyaksikan pergeseran sistem transaksi dari barter, logam mulia, uang kertas, hingga kini berbasiskan teknologi digital. Indonesia sendiri mengalami lonjakan transaksi digital hingga lebih dari 500% dalam setahun terakhir, dilihat dari hasil laporan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI).
Kemajuan ini jelas memberi banyak manfaat, dari akses perdagangan menjadi lebih mudah, biaya transaksi menurun, dan partisipasi ekonomi menjadi lebih luas. Namun di balik semua itu, tersimpan persoalan struktural yang belum terselesaikan seperti lemahnya tata kelola fiskal digital. Sistem e-commerce yang bersifat borderless, real-time, dan anonim menantang otoritas fiskal dalam menjamin kepatuhan pajak, kesetaraan perlakuan, serta keadilan antar pelaku ekonomi offline dan online.
Dampak asimetri ini mulai terasa nyata. Penurunan drastis omzet harian Pasar Tanah Abang yang pernah menjadi simbol kekuatan perdagangan tekstil nasional adalah salah satu indikator nyata bagaimana perubahan lanskap perdagangan menggeser pusat-pusat aktivitas ekonomi konvensional. Sayangnya, perubahan ini belum sepenuhnya diimbangi oleh instrumen fiskal yang adaptif dan responsif.
Menjawab persoalan tersebut, pemerintah menggulirkan kebijakan pengenaan PPh Final 0,5% terhadap pelaku usaha di e-commerce dengan omzet antara 500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun. Pajak ini dipungut langsung oleh platform marketplace atas nama negara, sesuai mekanisme PPh Pasal 22. Secara substansi, kebijakan ini bukanlah pungutan baru, melainkan penyesuaian terhadap basis ekonomi digital yang selama ini belum tersentuh secara optimal oleh sistem pajak nasional.
Namun pendekatan tersebut tidak bisa dilepaskan dari sejumlah catatan yang perlu dikaji :
1. Meski bertujuan untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan tax ratio yang saat ini stagnan di bawah 12%, pengenaan tarif final 0,5% atas omzet tetap mengandung risiko bagi pelaku usaha kecil, apalagi jika tidak dibarengi dengan edukasi dan pemetaan pelaku ekonomi digital yang akurat.
2. Pelaku UMKM digital saat ini telah menanggung potongan platform kisaran 13,5%, dan masih menghadapi beban logistik, iklan, diskon promo, belum lagi ada beban retur produk jika terjadi kerusakan dijalan atau human error.
3. Saat ini, rakyat terutama pelaku UMKM baik online maupun offline sedang terseok-seok akibat persaingan usaha yang tidak sehat, turunnya daya beli, dan ketidakpastian ekonomi global. Dalam kondisi seperti ini, penambahan beban pajak, meskipun hanya 0,5% dan atas nama penguatan fiskal, rasanya kurang tepat.
4. Pembebanan pajak 0,5% ke pedagang online akan menjadi triger peningkatan harga produk ke konsumen, Langkah ini justru dapat menyebabkan konsumen berfikir ulang untuk melakukan transaksi, artinya kurva konsumsi masyarakat dapat mengalami penurunan.
5. Sistem pelaporan, pemantauan yang belum sepenuhnya siap, dan integrasi antara DJP dengan platform digital yang masih berjalan bertahap mencerminkan ketidaksiapan terhadap sistem itu sendiri yang nantinya dapat berpotensi menimbulkan masalah teknis. Seperti pemungutan pajak yang salah sasaran atau terjadinya duplikasi pelaporan.
Dalam kondisi pasar yang sangat kompetitif, pelaku UMKM digital menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan margin usaha. Ketentuan tarif flat tanpa mempertimbangkan biaya dan siklus bisnis bisa menciptakan disinsentif bagi usaha kecil yang masih rentan.Dengan mempertimbangkan konteks di atas, langkah-langkah berikut perlu menjadi perhatian dalam implementasi kebijakan:
1. Penerapan tarif final seharusnya dimulai dari usaha menengah yang telah mapan, lalu dievaluasi secara berkala sebelum diperluas. Hal ini penting untuk mencegah dampak regresif terhadap UMKM.
2. Mekanisme pengembalian (refund) atau tax credit harus disiapkan untuk pedagang dengan omzet di bawah 500 juta, agar tidak terkena pungutan otomatis secara tidak proporsional.
3. Setiap perkembangan implementasi kebijakan ini perlu dilaporkan secara terbuka dan berkala, agar pelaku usaha dan masyarakat dapat menilai efektivitas dan keadilannya secara objektif.
4. Di masa depan, perlu dibuka opsi skema tarif progresif berbasis margin atau laba bersih, bukan omzet kotor, agar lebih mencerminkan kapasitas kontribusi wajib pajak secara adil.
Pada akhirnya, reformasi pajak digital ini adalah langkah penting, tetapi bukan tanpa konsekuensi. Jika tidak dijalankan secara adil, transparan, dan berbasis data, justru dapat memperdalam jurang ketimpangan antara usaha besar dan kecil, serta menciptakan resistensi terhadap kepatuhan pajak itu sendiri.
Sebagai bagian dari fungsi pengawasan fiskal dan perlindungan terhadap pelaku UMKM, kami di Komisi XI DPR RI akan terus memantau kebijakan ini secara kritis dan obyektif. Tujuannya bukan sekadar menjaga penerimaan negara, tetapi memastikan bahwa keadilan ekonomi tetap menjadi kompas utama dalam navigasi menuju transformasi digital yang berkeadilan.