10 Tahun Kerja Bersama: LPDP dan Peran Pendidikan untuk Investasi Masa Depan
Utama Jakarta Dalam acara Forum Rektor Indonesia pada Januari 2024, Presiden Joko Widodo terkejut saat melihat jumlah lulusan S2 dan S3 di Indonesia hanya 0,45 persen dari total penduduk usia produktif (15-64 tahun). Angka ini jauh lebih rendah dibanding negara-negara ASEAN yang rata-rata lulusannya mencapai 2,43 persen dan 9,8 persen di negara maju.
Kondisi tersebut bisa jadi lebih buruk bila menengok ke satu dekade kebelakang saat Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) belum terbentuk. Kini LPDP menjadi yang terdepan dan terbesar dalam memberikan beasiswa S2 dan S3 untuk putra-putri Indonesia. Tidak lagi menjadi terlalu sulit rasanya menemukan orang Indonesia duduk di bangku kampus-kampus top dunia.
Sejak perdana memberikan layanan beasiswa pada 2013, total telah ada 49.896 anak Indonesia yang menerima beasiswa LPDP per Agustus 2024. Hampir separuhnya atau 24.001 orang telah berstatus menjadi Alumni Beasiswa LPDP, sebab mereka telah menyelesaikan studi Master maupun Doktor. Tren jumlah pendaftar tiap tahunnya turut meningkat yang menunjukkan kesadaran anak bangsa untuk mengambil kesempatan beasiswa yang dipersembahkan negara kepada rakyatnya.
Tidak terasa satu dekade lebih LPDP turut membersamai 10 tahun pemerintahan berlangsung. Rp 154,11 triliun sudah Dana Abadi di Bidang Pendidikan terkumpul. Jumlahnya masih akan terus bertambah agar memastikan makin banyak penerima manfaatnya.
Adanya program Beasiswa Afirmasi dengan skema jalur Daerah Afirmasi, Keluarga Prasejahtera, Penyandang Disabilitas, dan Putra-Putri Papua adalah upaya konkret dalam menjemput bola memutus hambatan struktural agar dapat mengenyam pendidikan terbaik dan mengubah jalan hidupnya.
Dari program tersebut kita dapat melihat bagaimana anak-anak pedalaman di luar jawa, kaum miskin kota, dan penyandang disabilitas dapat memiliki pintu akses pendidikan tinggi yang sama. Gayung bersambut, tren yang positif ditunjukkan bila menengok jumlah penerima program Beasiswa Afirmasi meningkat 78,9 persen dalam tiga tahun terakhir (2021-2023).
Apakah artinya semua anak Indonesia khususnya yang di usia produktif kini telah mendapat kesempatan yang merata mendapat LPDP? Jawabnya belum. Pekerjaan berat masih di depan mata.
Untuk dapat setara dengan negara maju macam Amerika Serikat, Jepang, Korea, Selandia Baru, dan Kanada berarti butuh lompatan hingga setidaknya 18 kali lipat untuk mengejar pertumbuhan Master dan Doktor. Di sinilah perlunya dukungan dari banyak pihak dan rakyat Indonesia agar LPDP punya nafas yang panjang menjalankan amanat mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan adalah instrumen penting dalam pembangunan yang berkemajuan. Sepanjang sejarah peradaban besar, selalu tak lepas dari peran sumber daya manusianya yang terdidik, cerdas dan visioner. Sebaliknya, negara dengan tingkat pendidikan rendah cenderung mengalami masalah sosial yang lebih besar. Masyarakat yang kurang terdidik lebih rentan terhadap miskonsepsi, kemiskinan, ketertinggalan sains, intoleransi, stagnasi ekonomi, dan konflik sosial lainnya.
Embrio pembentukan dana abadi pendidikan dicetuskan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Bermula dari melihat Menteri Keuangan Malaysia yang mengunjungi mahasiswa Negeri Jiran di Inggris yang dibiayai negara. Pertanyaannya kala itu, kapan negara ini bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke luar negeri?
Ditambah saat menengok pendidikan stafnya di Departemen Keuangan pada 2005 silam, hanya ada lima orang yang bergelar Doktor. Padahal dibutuhkan kumpulan sumber daya yang mumpuni untuk mendesain berbagai kebijakan dan rumusan keuangan negara, terlebih pasca carut-marut peristiwa 1998. Reformasi internal dimulai dengan mendorong para staf melanjutkan S2 dan S3 di luar negeri.
Inilah awal yang mengubah wajah mengiringi transformasi Kementerian Keuangan dan pada gilirannya kelahiran Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Investasi pendidikan harus dimulai. Sejak tahun 2009, embrio yang dirawat dan diupayakan keras itu mulai bernyawa saat satu triliun rupiah pertama berhasil disisihkan untuk skema dana abadi (endowment fund) yang kemudian terbentuklah LPDP pada 2011 yang diamanatkan untuk mengelola dan mengembangkannya.
Pendanaan riset justru hadir pertama kali menandai dimulainya layanan LPDP ke masyarakat pada 2012. Ini tak lepas dari landasan bahwa perkembangan riset dan teknologi juga menjadi faktor penting sekaligus ciri paling kentara yang membedakan kemajuan suatu negara. Penelitian yang tak sekadar berakhir di atas kertas dan teronggok di laci, namun juga perlu didorong untuk hilirisasi, menghasilkan produk atau layanan yang memiliki nilai tambah.
Dalam banyak bukti-bukti empiris di berbagai negara maju pula, riset punya daya ungkit luar biasa dalam menciptakan entitas bisnis baru, menyerap tenaga kerja, efisiensi penggunaan modal, peningkatan produktivitas dan kemandirian industri.
Bahan bakar utama riset adalah kucuran dana berkelanjutan, sementara selama ini, keberpihakan pada area ini masih dinilai kurang. Adanya pendanaan riset yang ditanggung LPDP tentu adalah angin segar bagi para peneliti dan akademisi nasional para penerima manfaat. Namun lagi-lagi tugas berat masih di pelupuk mata bila berkaca pada negara maju.
Rasio anggaran riset terhadap PDB kita sepuluh tahun terakhir terus konsisten kecil, hanya sekitar 0,28%. Masih kalah jauh jika dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia misalnya 1,15%, Thailand 1,21 %, atau rata-rata negara-negara middle income sebesar 1,91%. Untuk bisa menjadi negara maju seperti Tiongkok, setidaknya rasio anggaran riset harus mencapai 2,08% (Laporan World Bank, 2023).
Perguruan tinggi kita sebagai “kawah candradimuka” pembangunan SDM dan riset ternyata kualitasnya juga masih tertinggal. Di antara 4000-an perguruan tinggi yang kita miliki, hanya ada tiga perguruan tinggi yang masuk dalam Top 300 dunia. Berbeda dengan Singapura yang memiliki 2 perguruan tinggi di Top 15 dan Malaysia yang konsisten menempatkan 5 perguruan tingginya dalam jajaran World Class Universities yang rankingnya jauh di atas Indonesia (Top 200).
Inilah yang bisa menjadi landasan mengapa peran LPDP sebagai penyokong dasar pendanaan riset menjadi sangat strategis dan membutuhkan keberlanjutan. Indonesia dapat memperkuat tradisi risetnya, menciptakan inovasi-inovasi baru, serta meningkatkan daya saing.