Ruang Bermain dan Potensi Perilaku Koruptif
3 mins read

Ruang Bermain dan Potensi Perilaku Koruptif



Kolom Jakarta Hari Anak Nasional (HAN) ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI No. 44 Tahun 1984 sebagai bentuk penghargaan terhadap pentingnya peran anak dalam kehidupan bangsa dan negara. Tanggal 23 Juli dipilih karena bertepatan dengan disahkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Untuk tahun 2025, Hari Anak Nasional mengangkat tema besar Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045.

Saat ini kita berada di tahun 2025, dan butuh 20 tahun lagi menuju Indonesia Emas 2045. Anak-anak yang sekarang berusia 6 hingga 12 tahun nantinya akan berusia 26 sampai 32 tahun pada tahun 2045—usia yang matang dan penuh potensi. Mereka inilah generasi muda yang akan menjadi kekuatan utama dalam membangun masa depan bangsa.

Bermain dan Ruang Bermain

Bermain merupakan salah satu aspek krusial dalam tugas perkembangan anak. Pasal 31 Konvensi Hak Anak (UNCRC) menjamin hak setiap anak untuk beristirahat, bermain, dan berpartisipasi dalam kegiatan budaya dan seni. Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35/2014 Pasal 56, juga telah menegaskan bahwa bermain bukan aktivitas sampingan, tetapi bagian dari hak anak yang setara pentingnya dengan hak atas pendidikan dan perlindungan.

Dalam pandangan Erik Erikson tentang perkembangan psikososial dan teori perkembangan kognitif Jean Piaget, aktivitas bermain memiliki fungsi yang jauh lebih mendalam daripada sekadar hiburan. Bermain menjadi medium utama bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan, membangun kemampuan sosial, merangsang kreativitas, serta mengembangkan regulasi emosi dan kontrol diri. Melalui kegiatan ini, anak memproses makna dunia di sekitarnya, menginternalisasi nilai-nilai sosial, dan mulai membentuk identitas personal.

Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa banyak anak tidak memperoleh kesempatan yang memadai untuk bermain. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tekanan akademik yang tinggi, persepsi orang tua yang masih menganggap bermain sebagai aktivitas tidak produktif, serta keterbatasan ruang publik yang ramah anak, terutama di wilayah perkotaan di Indonesia.

Terkait dengan penyediaan ruang bermain anak, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki sejumlah instrumen kebijakan yang mendukung, seperti Rencana Aksi Kota Layak Anak (KLA) dan regulasi tata ruang yang mencakup penyediaan ruang terbuka hijau.

Sertifikasi RBRA (Ruang Bermain Aramah Anak) untuk memastikan bahwa ruang bermain memenuhi standar keamanan, kebersihan, kenyamanan, dan aksesibilitas bagi semua anak, termasuk yang berkebutuhan khusus sudah diterapkan dibeberapa kota. Namun, implementasi kebijakan ini masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk keterbatasan anggaran, kurangnya komitmen pemerintah daerah, serta belum optimalnya partisipasi masyarakat dan sektor swasta dalam mendukung terciptanya ruang bermain yang aman, inklusif, dan mudah diakses oleh anak-anak.

Walau perkembangan ruang bermain secara kuantitatif menunjukkan pertumbuhan, namun masih belum mencapai cakupan merata (terbatas di kota-kota tertentu). Pertumbuhan fisik ruang bermain masih belum merata secara geografis—beberapa daerah maju, banyak juga yang belum memiliki RBRA standar.

Minimnya ruang bermain berarti anak, lebih sedikit berinteraksi spontan dengan teman sebaya, kurang mengalami konflik sosial kecil yang penting untuk pembelajaran moral dan kehilangan kesempatan untuk berlatih negosiasi, empati, dan keadilan. Minimnya ruang bermain bukan hanya isu rekreasi, melainkan isu pendidikan karakter dan pencegahan perilaku menyimpang jangka panjang. Ketika anak tidak memiliki ruang yang cukup untuk bermain secara sosial, mereka kehilangan kesempatan penting untuk belajar tentang kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan—nilai-nilai yang menjadi benteng utama terhadap perilaku koruptif di masa dewasa.

Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg menegaskan bahwa perkembangan moral anak terbentuk dari interaksi sosial. Ketika interaksi tersebut terganggu (misalnya karena kurangnya ruang bermain), maka perkembangan moral pun bisa terganggu—dan ini menjadi fondasi bagi perilaku tidak etis di masa depan. Veitch et al. (2006) menyatakan bahwa kualitas dan ketersediaan ruang bermain berkontribusi signifikan terhadap kesehatan mental dan keterhubungan sosial anak.