Bertemu Dirjen Bimas Buddha, Hikmahbudhi Dukung Pemasangan Chattra Borobudur
2 mins read

Bertemu Dirjen Bimas Buddha, Hikmahbudhi Dukung Pemasangan Chattra Borobudur



Utama Jakarta – Ketua Pengurus Pusat Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (PP Hikmahbudhi) Candra Aditiya Nugraha beraudiensi dengan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) Supriyadi, Sabtu (24/8).

Candra mengaku, pertemuan tersebut membahas perihal pemasangan Chattra di Candi Borobudur. Menurut dia, Chattra di candi Borobudur sebagai payung di stupa Candi Borobudur atau sebagai pelindung, yang memiliki akan syarat makna mendalam dan spiritualitas bagi Umat Buddha.

“Kami memberikan dorongan dan dukungan terkait tentang pemasangan Chattra di Candi Borobudur,” ujar Candra dalam keterangan diterima, Sabtu (24/8/2024).

Candra memahami, artian Chattra memiliki arti payung atau pelindung dalam sutta/sutra dalam agama Buddha, salah satunya yang terdapat dalam Mucalindasutta dari Udana II, satu yang menjelaskan bahwa pada ketika Buddha baru saja mencapai Pencerahan Sempurna dan belum bergeming dari tempat duduknya di bawah pohon Bodhi, Raja Naga Mucalinda pernah datang dan melingkari tubuh Sang Buddha sebanyak tujuh kali menggunakan ekornya, lalu menegakkan badannya sembari mengembangkan kepalanya di atas Buddha dan memayungi Buddha dari cuaca panas maupun dingin, dari serangga, dari teriknya matahari, dan dari binatang-binatang buas lainnya.

“Kisah ini bisa dilihat sebagai salah satu cerita paling awal dalam kanon Buddha tentang peran payung sebagai sebuah pelindung. Lalitavistara Sutra adalah sebuah sutra Mahayana yang populer, bahkan diabadikan dalam 120 relief di Candi Borobudur. Sutra ini diajarkan oleh Buddha di Sravasti, Jetavana, Anathapindada, di hadapan 12 ribu biksu, 32 ribu Bodhisatwa, dan para dewa,” ujar dia.

Candra mengatakan, Sutra tersebut mengisahkan kehidupan Buddha, mulai dari sebelum beliau masuk ke dalam rahim Ratu Mahamaya hingga mencapai Pencerahan Sempurna dan memutar Roda Dharma.

“Dalam sutra ini, kata “payung” (parasol) sering digunakan sebagai simbol. Misalnya, sebelum turun ke dunia, Bodhisatwa berdiam di istana surgawi yang dihiasi payung-payung indah,” ungkap dia.

Candra memeruskan, saat kelahiran Pangeran Siddharta, payung-payung surgawi juga menghiasi istana, dan dewa-dewi memegang payung menyambutnya. Payung juga muncul dalam berbagai peristiwa penting dalam hidup Buddha, termasuk saat ia meninggalkan istana dan saat mengajarkan Dharma.

“Di akhir sutra, Buddha bahkan menggunakan analogi payung untuk menggambarkan kualitas seorang Buddha kepada Bodhisatwa Maitreya,” ungkap Candra.



Source link