OPINI: Emotional Branding di Era Generative AI
Kolom Jakarta – Apple, Nike dan Starbucks. Apa yang pertama muncul dalam pikiran Anda saat membaca nama-nama tersebut atau melihat logonya? Ambisi, kegigihan, dan kenyamanan? Terlepas dari apa kata tepatnya, yang lebih penting lagi adalah ketika seseorang menemukan brand ikonik seperti itu, mereka tidak langsung memikirkan produk atau layanan terbaru dari brand tersebut.
Alih-alih, mereka memikirkan emosi yang ditimbulkan oleh brand tersebut. Menurut sebuah penelitian dari Mars, marketer hanya memiliki sekitar dua detik untuk menarik perhatian konsumen dalam ranah digital.
Kecuali seorang pelanggan sudah menjadi brand enthusiast, kemungkinan besar mereka tidak akan mengingat unique value proposition (UVP) dari sebuah produk. Dengan demikian, marketer harus memastikan bahwa kampanye pemasaran mereka tidak hanya menekankan pada UPV, namun secara cepat menarik perhatian pemirsa dengan membangkitkan emosi yang tepat. Dari sudut pandang finansial, Harvard Business Review mendapati bahwa konsumen yang terhubung secara emosional, rata-rata 52% lebih berharga bagi sebuah brand.
Untuk mencapai hal tersebut brand perlu mengacu pada karya psikolog terkenal Dr. Robert Plutchik. Pada 1980 dia mengajukan konsep wheel of emotions; di mana ada 8 emosi primer manusia. Fear, Anticipation, Joy, Trust, Sadness, Disgust, Anger, dan Surprise.
Di dalam pemasaran, anger, sadness, dan disgust bisa diabaikan. Fear adalah emosi yang menarik, yang digantikan dengan Fear of Missing out (FOMO).
Tantangan yang Terus Berkembang
Sebelum era digitalisasi, emotional branding lebih sulit karena ia sangat bergantung pada interaksi fisik dan channel komunikasi yang terbatas. Akibatnya, sulit untuk meraih dan terhubung secara emosi dengan audiens secara luas dalam cara yang terpersonalisasi dan skalabel.
Saat ini, marketer menghadapi tantangan sebaliknya – yaitu oversaturation. Dr.Gloria Mark, seorang psikolog, mempelajari interaksi manusia dengan komputer selama lebih dari dua dekade dan mengidentifikasi bahwa pada abad 21 ini, rentang perhatian pada layar adalah rata-rata 47 detik. Ini turun dari 2,5 menit pada 2004.
Artinya, waktu yang dimiliki marketer untuk menarik perhatian Anda sebelum menggeser notifikasi menjadi lebih pendek dari sebelumnya. Hasilnya, lebih banyak headline yang ‘clickbait-y‘ – semua untuk mengejar rasio klik-tayang (clickthrough rates).